Sabtu, 28 Mei 2011




 PENDAPAT  FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL
TERHADAP
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
PENANGANAN KONFLIK SOSIAL
============================================================
Dibacakan Oleh:
H. Jamaluddin Jafar, S.H.                                Nomor Anggota: 146

Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum wr. wb.
Salam sejahtera untuk kita semua,
Saudara Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang kami hormati.
Puji syukur, kita panjatkan kepada Allah Subhanahuwataala, Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat menghadiri rapat paripurna pada hari ini.
Saudara Pimpinan dan Anggota Dewan yang kami hormati.
Tujuan  kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam konteks ini, negara berkewajiban melindungi seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama, adat istiadat, dan budaya, termasuk memberikan jaminan rasa aman dan bebas dari rasa takut dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk mengemban amanah pembukaan UUD 1945 tersebut, maka disusunlah Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial (RUU PKS) sebagai jawaban untuk menangani beragam konflik sosial  yang melibatkan agama dan suku/etnis di berbagai wilayah Indonesia, seperti yang pernah terjadi di Kalimantan Barat dan Tengah, Sulawesi Tengah, Maluku Selatan dan Utara, serta daerah-daerah lainnya.
Konflik sosial yang terjadi pada umumnya sangat kuat dipengaruhi oleh isu identitas dan isu distribusi (ekonomi atau kesempatan kerja). Dengan kata lain, konflik sosial di berbagai wilayah tanah air dalam persepsi berbagai etnis, agama, dan strata masyarakat, sangat berhubungan dengan kesenjangan sosial ekonomi, keagamaan, perilaku antar etnis, kurangnya peran lembaga sosial pemerintah, serta keberpihakan aparat dalam menyelesaikan kerusuhan atau konflik.
Saudara Pimpinan dan Anggota Dewan yang kami hormati.
Dalam RUU Penanganan Konflik Sosial ini, yang dimaksud dengan konflik sosial diartikan sebagai benturan dengan kekerasan fisik antara dua atau lebih kelompok atau golongan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda, berdampak luas dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang menimbulkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial, sehingga menghambat pembangunan nasional dalam mencapai kesejahteraan masyarakat.
Konflik yang berkepanjangan selalu menyisakan ironi dan tragedi. Dampak terbesar dari konflik yang membutuhkan perhatian dan penanganan serius, justru adalah pada aspek psiko-sosial masyarakat. Korban dan pihak-pihak terkait dihinggapi rasa takut dan selalu merasa tidak aman. Akibatnya, diantara kelompok-kelompok masyarakat timbul rasa saling curiga dan mengikis rasa kepercayaan diantara warga masyarakat (distrust).
Di lain pihak, pola penanganan konflik yang dilakukan pemerintah di tiap wilayah selama ini  cenderung diseragamkan. Hal ini terlihat dari upaya yang dilakukan pemerintah selain memberikan bantuan fisik materiil, seperti sembako, atau tempat penampungan, juga melakukan fasilitasi dialog, penjagaan oleh aparat keamanan dan sosialisasi perdamaian.
Saudara Pimpinan dan Anggota Dewan yang kami hormati.
Upaya-upaya yang lebih menyentuh persoalan yang mendasar dan substansi untuk penanganan konflik, seperti penguatan basis sosial dan ekonomi masyarakat, pengaturan penguasaan sumber daya ekonomi secara lebih adil dan lain-lain, ternyata belum banyak dilakukan oleh pemerintah. Padahal ini menjadi tanggung jawab dan  kewajiban pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai pengayom bagi seluruh etnis, agama dan strata sosial di masyarakat.
Untuk itu dalam RUU ini penanganan konflik dilakukan secara terpadu dan sistematis baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik. Terdapat pula pengaturan mengenai penyelesaian melalui lembaga penyelesaian konflik sebagai mekanisme alternatif penyelesaian konflik di luar pengadilan. Penyelesaian konflik di luar pengadilan dilakukan melalui lembaga adat di masing-masing daerah dan pembentukan komisi penyelesaian konflik sosial sesuai dengan tingkat (nasional, provinsi,  kabupaten/kota). Apabila upaya lembaga adat di daerah tersebut tidak ada atau tidak berfungsi, maka dibentuk Komisi Penyelesaian Konflik Sosial (KPKS) sebagai lembaga khusus yang independen dan bersifat ad hoc, untuk menyelesaikan konflik di luar pengadilan melalui mediasi dan rekonsiliasi.
Saudara Pimpinan dan Anggota DPR RI yang kami hormati.
Terdapat beberapa substansi RUU yang mendapat tanggapan dari anggota Panja diantaranya, menyangkut judul dan ruang lingkup RUU Penanganan Konflik Sosial, ketentuan umum khususnya menyangkut definisi konflik, ruang  lingkup penanganan konflik, lembaga penyelesaian konflik, pembiayaan penanganan konflik, penjelasan RUU, serta sektor utama dalam penanganan konflik sosial.
Panja juga mengamanatkan perlunya institusi agama atau tokoh agama dilibatkan dalam penghentian konflik. Pelibatan tokoh agama ataupun institusi agama dilakukan berdasarkan penunjukan terhadap lembaga-lembaga formal dan disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan. Menyangkut mekanisme dan prosedur penghentian konflik, hal tersebut tetap menjadi tanggungjawab kepala pemerintahan, baik itu tingkat pusat, provinsi, atau kabupaten/ kota. Pimpinan lembaga eksekutiflah yang diberi kewenangan khusus untuk meredakan konflik. Usaha itu dilaksanakan dapat meminta bantuan dari kepolisian. Bila dalam situasi darurat karena konflik tidak kunjung berhenti dapat meminta bantuan TNI untuk meredakannya. Fraksi PAN berpendapat bahwa otoritas untuk mengambilan keputusan penanganan konflik di daerah adalah pimpinan lembaga eksekutif, tidak usah dibawah ke DPRD provinsi, kabupaten/ kota, agar proses penanganan dan atau penghentian konflik dapat berjalan lebih cepat lagi.
Sidang Dewan yang kami hormati
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, Fraksi Partai Amanat Nasional DPR RI menerima dan menyetujui RUU tentang Penanganan Konflik Sosial untuk ditetapkan menjadi RUU DPR RI.
Demikin pandangan dan pendapat Fraksi Partai Amanat Nasional DPR RI atas RUU tentang Penanganan Konflik Sosial. Atas segala kesalahan atau kekhilafan yang mungkin terjadi selama terlibat dalam pembahasan atas RUU tersebut, kepada semua pihak kami sampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya. Ucapan terima kasih juga kami haturkan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan dan perumusan RUU tersebut.





Bilahit taufiq walhidayah
Wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, 31 Mei 2011

PIMPINAN FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT  
REPUBLIK INDONESIA


Ir. H. Tjatur Sapto Edy, M.T.
Ketua
Hj. Dewi Coryati, M.Si.
Wakil Sekretaris



​​